STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

Penulis

  • Prihatini Purwaningsih

DOI:

https://doi.org/10.32832/yustisi.v3i2.1106

Abstrak

Perkawinan dibawah tangan yang tidak tercatat di KUA atau catatan sipil berakibat merugikan khususnya bagi pihak perempuan, apalagi jika seorang perempuan tersebut memiliki atau melahirkan anak yang merupakan akibat dari perkawinan dibawah tangan, karena dalam undang-undang anak yang dilahirkan tanpa adanya status bapak yang sah anak tersebut bernasab ke ibu. Berlanjut dimasa depannya apabila seorang anak yang lahir dari buah perkawinan di bawah tangan yakni menimbulkan banyak kesulitan mengenai administrasi dirinya mulai ia akan meranjak kedunia pendidikan, pekerjaan sampai anak yang telah dewasa itu ingin menikah. Akta kelahiran menjadi sangat asasi karena menyangkut identitas diri dan status kewarganegaraan. Ini sudah menjadi Hak Asasi Manusia dan menyangkut hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh Negara serta orangtua yang melahirkannya. Apabila seorang anak lahir kemudian identitasnya tidak terdaftar atau tidak ada maka akan menimbulkan masalah dan berakibat pada Negara, pemerintah, masyarakat, orangtua bahkan untuk anak itu sendiri. Karena seorang anak bukannlah hanya sebagai penerus orang tuanya saja tapi menjadi penerus bangsa, tunas bangsa dan potensi sebuah bangsa, seorang anak berhak mendapat kesempatan seluas luasnya baik dari hak yang melekat pada dirinya maupun hak yang bersangkutan dengan orang lain yang berhubungan dekat dengannya tanpa adanya keterbatasan karena kurangnya identitas diri yang belum dipenuhinya kepada Negara. Status keperdataan anak yang dilahirkan dari perkawinan di bawah tangan dimana status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak-anak menjadi korban dari perkawinan di bawah tangan tersebut. Baik secara hukum sosial maupun psikologis tentunya berakibat terhadap anak. Perkawinan di bawah tangan hanya menguntungkan suami/laki-laki dan akan merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Banyaknya kasus anak lahir dari perkawinan tersebut antara lain pada tahun 2010 muncul kasus gugatan untuk di Yudicial Review (uji materiil) terhadap Undang-undang perkawinan khususnya terhadap Pasal 43 kepada Mahkamah Konstitusi. Kasus ini diajukan pertama kali oleh Machica Mochtar. Dimana Machicha Mochtar pernah menikah sirri dengan seorang pejabat, dari perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki. Anak ini lahir dari perkawinan di bawah tangan karena suami dari Machica Mochtar masih memiliki istri sah dan kasus ini dimenangkan oleh Machicha Muhtar dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

Diterbitkan

2016-09-01

Cara Mengutip

Purwaningsih, P. (2016). STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA. YUSTISI, 3(2), 61. https://doi.org/10.32832/yustisi.v3i2.1106

Terbitan

Bagian

Artikel